Saribu Raja & Siboru Pareme sebenarnya kakak beradik Kandung (namariboto). Pada masa itu jumlah manusia masih sedikit. Sudah kodrat alam, Saribu Raja mencintai adiknya sama seperti mencintai gadis lain. Keduanya terlanjur seperti suami istri, sehingga Siboru Pareme hamil. Mengetahui keadaan itu, saudaranya yang lain Sagala Raja, dan Malau Raja sangat murka dan berupaya membunuh kedua saudaranya Saribu Raja dan Siboru Pareme. Tetapi untuk melaksanakan niat itu tidak ada yg tega untuk membunuh. Akhirnya mereka sepakati untuk membuang keduanya ke tengah hutan atau tombak longo longo secara terpisah. Siboru Pareme dibuang kesekitar wilayah Ulu Darat di atas Sabulan dan Saribu Raja dibuang jauh kearah Barat (Barus).
Siboru Pareme hampir putus asa, karena tempat pembuangannya itu ternyata habitat harimau (banyak harimau berkeliaran) yg siap memangsanya. Suatu ketika, Siboru Pareme yg sudah hamil tua dan kesepian , dikejutkan oleh seekor harimau yang mengaum mendekatinya. Namun karena sudah terbiasa melihat harimau dan penderitaan yg dialaminya, ia tidak takut lagi dan pasrah untuk di mangsa . Setelah menunggu beberapa saat, ternyata harimau itu tidak memangsanya. Harimau tadi membuka mulutnya lebar-lebar dihadapan Siboru Pareme seakan meminta bantuan. Dari jarak dekat Siboru Pareme melihat ada sepotong tulang yg tertancap di rahang harimau itu. Timbul rasa iba dihati Siboru Pareme. Tanpa ragu Siboru Pareme mencabut potongan tulang itu dan di buangnya. Setelah itu harimau yg dikenal buas itu menjadi jinak kepada Siboru Pareme. Sejak itu harimau yg dikenal BABIAT SITELPANG setiap pagi dan sore mengantar daging hasil buruannya ketempat Siboru Pareme. Budi baik yang diterimanya dari wanita yang sedang hamil tua itu menumbuhkan rasa sayang BABIAT SITELPANG yang diwujudkannya dengan tetap menjaganya hingga melahirkan SIRAJA LONTUNG.
SIRAJA LONTUNG yg hidup dengan ibunya ditengah hutan sekitar Ulu Darat selalu didampingi oleh BABIAT SITELPANG. Tidak seorang pun manusia lain yang mereka kenal. Namun Siboru Pareme selalu memberi pengetahuan kemasyarakatan kepada anaknya termasuk partuturan adat batak.
Setelah SIRAJA LONTUNG beranjak dewasa dan sudah bisa menikah, ia bertanya kepada ibunya di mana kampung tulangnya. Ia sangat berniat menikah dengan putri tulangnya (paribannya). Siboru Pareme merasa sedih dan sejenak terdiam. Hatinya gusar, kalau diberitahu yang sebenarnya, takut tulangnya yg membuang ke tombak longo longo itu membunuh SIRAJA LONTUNG, Siboru Pareme selalu berupaya mengelak dari pertanyaan anaknya. Namun karena tidak ingin anaknya menjadi korban kemarahan tulangnya, akhirnya Siboru Pareme membuat siasat. Ia harus mengorbankan dirinya untuk dikawini SIRAJA LONTUNG, KARENA TIDAK ADA MANUSIA DI HUTAN ITU.
Suatau malam menjelang tidur Siboru Pareme memanggil anaknya. “Sudah sejak lama kau menanyakan boru tulangmu, Sebenarnya anakku…kau sudah saya bohongi” ujar Siboru Pareme dan mulai menjelaskan ciri-ciri paribannya. Boru tulangmu itu persis seperti saya, baik postur tubuh dan rambutnya, tingginya juga sama dengan saya. Tetapi kalau itu yg kau inginkan, saya juga senang. Pergilah mencari paribanmu. Kalau saya pergi mencari ayahmu ke arah barus, kalian bersama istrimu tinggal disini”, ujar Siboru Pareme dengan serius membuat SIRAJA LONTUNG manggut manggut. Kemudian Siboru Pareme merekayasa sebuah tempat sebagai kampung tulangnya.Kepada SIRAJA LONTUNG, Siboru Pareme memesankan jangan sampai masuk ke kampung tulangnya.” Tetapi lihatlah boru tulangmu tengah mandi sore di Pansur sana”, kata ibunya sambil menunjuk sebuah pansur dari atas pebukitan Ulu Darat. “Kamu nanti berjalan dari sana, kalau kau langsung turun dan tembak lurus, kamu akan kesulitan, saya kuatir kamu masuk jurang”, kata ibunya sanbil mengarahkan SIRAJA LONTUNG mengambil jalan melingkar ke pansuran itu walaupun ada jalan yg lebih cepat menuju tempat pansuuran itu.
Setelah SIRAJA LONTUNG berlalu, Siboru Pareme bergegas pergi ke pancuran (pansur) yang ditunjukkannya kepada anaknya. Ia mengambil jalan pintas dan tiba lebih awal dari SIRAJA LONTUNG. Dengan tergesa-gesa dia membuka pakaian laklak dan mandi di pansur itu. Waktu sudah semakin sore, matahari sudah mulai tenggelam. Ia sudah mulai mendengar tanda-tanda SIRAJA LONTUNG sudah dekat . Hati Siboru Pareme mulai berdebar, detakan jantungnya mulai dag dig dug, karena dia kuatir dikenal anaknya SIRAJA LONTUNG yang menjadi calon suaminya.
SIRAJA LONTUNG semakin mendekat. Ia mendengar ada manusia tengah mandi di pansuran itu. “ Berarti benar apa yang diberitahu ibuku”, katanya dalam hati, sambil mengintip dari celah-celah pohon. Ia tidak sabar terlalu lama lagi, karena hari sudah gelap dan langsung menghampiri Siboru Pareme, setelah membiarkan Siboru Pareme menutupi tubuhnya dengan kain laklak. “Bah benar juga yg dibilang ibuku, tidak ada ubahnya seperti dia”, katanya dalam hati. “Santabi boru ni tulang, saya ingin menyampaikan pesan ibuku”, kata SIRAJA LONTUNG dan menggapai tangan Siboru Pareme serta meremas jemari perempuan yang disebut paribannya itu, dan menyelipkan cincin ibunya ke jari manis dan ternyata pas. “Berarti tidak salah lagi, kaulah paribanku itu. Wajahmu seperti ibuku dan cincin ibuku cocok dijari manismu,” lanjutnya merasa yakin.
Tanpa ragu dia menyampaikan niatnya untuk mengawini paribannya itu. Dengan malu-malu, sambil menutupi sebagian pipinya dengan rambut yg hitam panjang, menjawab pinangan itu dengan setuju. Kemudian membawanya ke tempat tinggalnya di sekitar wilayah Ulu Darat.
Malam semakin pekat, keduanya pulang sesuai pesanan ibunya. Namun SIRAJA LONTUNG terkejut, sebab ibunya tidak lagi di jumpai di rumahnya. Ia teringat pesan ibunya yang berniat mencari ayahnya SARIBU RAJA kearah Barus. Keduanya hidup serumah dan menjadi suami istri, dan lahirlah anak mereka tujuh laki-laki dan satu perempuan. Masing-masing bernama yaitu: Toga Sinaga, Tuan Situmorang, Toga Pandiangan , Toga Nainggolan , Toga Simatupang , Toga Aritonang dan Toga Siregar. Dan satu-satunya putrinya kawin dengan marga Simamora. Namun setelah perkawinan mereka, tidak lama kemudian suaminya meninggal dan dia kawin lagi ke Marga Sihombing.