KAUM bangsawan Sumba mempunyai tradisi untuk menyimpan mayat
bertahun-tahun di rumah adat. Agar mayat tetap awet membutuhkan pangawet.
Dewasa ini kebanyakan orang menggunakan zat pengawet kimia atau formalin. Bagi
orang Sumba, formalin hanya merupakan tambahan dan baru dikenal dalam satu
dasawarsa terakhir. Apa rahasia menyimpan mayat bertahun-tahun agar tidak bau?
Pos Kupang mencoba menggali rahasia para leluhur Sumba tersebut
dari Ny. Rambu Ana Pura Woha. Menurut Rambu Ana, sebelum mengenal formalin,
orang Sumba biasa menggunakan metode pengawetan tradisional. Pengawetan
tradisonal itu bermacam-macam. Ada yang menggunakan kapur sirih dicampur
tembakau atau daun teh. Tetapi, yang sering digunakan adalah kapur sirih dan
tembakau. Untuk lebih bertahan lama, mayat ditambah daun bidara atau dalam
bahasa setempat disebut daun kom. Ada juga yang hanya menyelimuti mayat dengan
ratusan lembar kain adat. Menurut beberapa tokoh adat Sumba, kain adat Sumba
yang menggunakan zat pewarna asli dari tumbuh-tumbuhan sudah mengandung
pengawet alami. Jadi, bau mayat akan terserap oleh kain yang dibungkuskan pada
jenazah.
Untuk pengawetan metode pertama, jelas Rambu Ana, dilakukan
dengan cara menyiram kapur sirih di atas kain yang digunakan sebagai alas mayat
atau pembungkus mayat. Setelah kain pertama yang ditabur kapur sirih dan
tembakau, dilapisi lagi kain kedua. Kapur sirih dan tembakau ini yang akan
menyerap bau, bahkan membuat jenazah kering. Setelah dibaringkan di atas
lapisan yang ditabur kapur sirih, pusar jenazah ditutupi dengan cairan daun kom
atau bidara yang sudah dikunyah.
Tidak sembarang orang bisa mengunyah daun kom yang akan ditaruh
di pusar jenazah. Jika yang meninggal adalah lelaki tua, maka daun kom harus
diambil dan dikunyah oleh perempuan muda. Cara mengambil daun kom juga
menggunakan mulut seperti kambing. Daun kom itu dikunyah sampai halus dan
diletakan di pusar jenazah. Demikian juga sebaliknya jika yang meninggal
perempuan tua, maka yang mengambil dan mengunyah daun kom atau bidara adalah
lelaki muda.
Bagaimana jika yang meninggal adalah lelaki muda atau perempuan
muda? Rambu Ana mengatakan, yang mengambil dan mengunyah daun kom adalah lelaki
atau perempuan tua. Daun kom ini, jelas Rambu Ana, mampu mengempiskan perut
jenazah atau mayat. Rambu Ana mengatakan, secara logika memang tidak ada
hubungannya. Namun, pengalaman telah membuktikan metode tersebut berhasil.
Cara itu selama ini sering digunakan untuk mengawetkan mayat.
Jika ingin awet lebih lama, bisa juga ditambahkan dengan air garam dan cuka
nira. Caranya, rebus cuka nira, campur dengan garam sebanyak-banyaknya setelah
itu diminumkan ke mayat dengan cara mengangkat kepala jenazah kemudian
menuangkan air cuka campur garam ke dalam mulut mayat, kepala jenazah
dibaringkan lagi. Ini dilakukan berulang-ulang hingga satu gelas air cuka
campur garam habis. Namun sebelum air garam cuka diminumkan ke jenazah, jenazah
harus dalam keadaan bersih. Yang dimaksud bersih, katanya, seluruh kotoran yang
ada dalam perut jenazah harus dikeluarkan semua. Cara ini ternyata mampu untuk
mengawetkan jenazah.
Rambu Ana mengatakan, tidak semua orang menggunakan cara ini
karena saat ini lebih mudah menggunakan formalin yang mudah didapatkan di
apotek. Beberapa tokoh masyarakat Sumba, di nya, Umbu Mbani Awang, mengatakan,
selain dengan kapur sirih dan tembakau, pengawetan mayat bisa dilakukan dengan
tepung kopi. Caranya sama seperti kapur sirih dan tembakau.
Referensihttp://bali-nusa-tenggara.infogue.com/mengawetkan_mayat_di_sumba
Referensihttp://bali-nusa-tenggara.infogue.com/mengawetkan_mayat_di_sumba