Kerukunan dan kesejahteraan merupakan tujuan serta cita-cita Negara. Hal ini telah tercantum dalam PANCASILA sebagai dasar Negara yang mempersatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Marauke dengan kultur dan budaya yang sangat beragam dengan keunikan-keunikannya.
Namun kebebasan beragama yang tercantum dalam undang-undang 1945, yaitu Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). (“Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.”) Legalisasi dalam konstitusi itu kiranya cukup untuk menunjukkan bahwa agama menduduki porsi yang penting dalam kehidupan
bernegara di Indonesia. ( http://adisulistiyono.com/wp-content/) dari sini kita dapat mengetahui keberaadaan Negara dalam persatuan dan kesatuan NKRI dalam menghadapi kehidupan global dan modern yang kurang bersahabat dengan cultur budaya ketimuran seperti Indonesia.
Namun berbicaraa tentang agama dan kepercayaan merupakan sesuatu yang sensitive untuk di perbincangkan pada saat ini. Hal ini dapat memperlemah kesatuan dan persatuan sebuah Negara, dan mengakibatkan blog-blog agama dalam bermasyarakat bahkan dalam berkeluarga. Dampak potensi konflik jenis ini (konflik agama) bisa amat mendalam dan cenderung meluas. Bahkan implikasinya bisa sangat besar sehingga berisiko sosial, politik maupun ekonomi yang besar pula. Dan ia telah sedikit menampakkan wajah garangnya di daerah Maluku/Ambon dan Poso. Dengan demikian kita memang tak dapat menyangkal, kerukunan (toleransi) antarumat beragama di negeri ini merupakan faktor yang amat penting. Tanpa adanya kerukunan beragama, maka hubungan antaragama akan menjadi mudah terganggu. Gangguan itu bisa mengakibatkan terjadinya instabilitas kehidupan sosial-politik, yang tentunya tidak dikehendaki banyak lapisan masyarakat. Kasus (dan potensi) konflik antarumat beragama di Maluku saat itu orang tidak dapat membayangkan dan bahkan belum bisa dipastikan entah kapan akan berakhirnya, adalah contoh konkrit yang amat memprihatinkan. Konflik tersebut sudah memakan banyak korban jiwa dan harta benda. Hubungan antarumat beragama yang sebelumnya terjalin harmonis di sana, akhirnya berubah menjadi tegang dan saling mencurigai satu sama lainnya. Permusuhan antarumat beragama di Maluku itu, belakangan ini bahkan telah mulai tampak membawa efek psikologis negatif, yakni lahirnya perasaan dendam kesumat antarsesama anak bangsa di sana. Masalah sepele akhirnya kerap berubah menjadi besar yang mengkait dengan soal agama. Padahal, selama ini masyarakat Maluku dikenal sangat baik dalam memelihara kerukunan.
Terganggunya toleransi antarumat beragama itu bisa pula kita cermati pada kerusuhan di Situbondo, Tasikmalaya, Sanggau Ledo, Tanah Abang, Poso dan lainnya, yang merembet pada masalah agama. Padahal, puluhan atau bahkan ratusan tahun sebelumnya, warga masyarakat dari berbagai agama di tempat-tempat konflik itu hidup rukun dan damai sebagai sesama anak bangsa. Terjadinya berbagai konflik antarumat beragama di atas bisa dianggap sebagai suatu peringatan kepada bangsa kita agar tidak boleh lagi bersikap lengah terhadap hal-hal negatif yang mungkin saja dapat memicu konflik serupa di masa depan. (http://www.stain-palu.ac.id/)
Kita pun seharusnya mengelola hal-hal positif sebagai cara mengantisipasi konflik yang lebih besar dalam bangsa ini di masa selanjutnya. Menyangkut hal positif, bila bercermin pada sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kita harus menyadari bahwa sebenarnya persatuan dan kerukunan adalah kata kunci dari keberhasilan dalam meraih kemerdekaan yang sejati.