Rabu, 06 Juni 2012

Mumifikasi ala NUSA Tenggara


KAUM bangsawan Sumba mempunyai tradisi untuk menyimpan mayat bertahun-tahun di rumah adat. Agar mayat tetap awet membutuhkan pangawet. Dewasa ini kebanyakan orang menggunakan zat pengawet kimia atau formalin. Bagi orang Sumba, formalin hanya merupakan tambahan dan baru dikenal dalam satu dasawarsa terakhir. Apa rahasia menyimpan mayat bertahun-tahun agar tidak bau?
Pos Kupang mencoba menggali rahasia para leluhur Sumba tersebut dari Ny. Rambu Ana Pura Woha. Menurut Rambu Ana, sebelum mengenal formalin, orang Sumba biasa menggunakan metode pengawetan tradisional. Pengawetan tradisonal itu bermacam-macam. Ada yang menggunakan kapur sirih dicampur tembakau atau daun teh. Tetapi, yang sering digunakan adalah kapur sirih dan tembakau. Untuk lebih bertahan lama, mayat ditambah daun bidara atau dalam bahasa setempat disebut daun kom. Ada juga yang hanya menyelimuti mayat dengan ratusan lembar kain adat. Menurut beberapa tokoh adat Sumba, kain adat Sumba yang menggunakan zat pewarna asli dari tumbuh-tumbuhan sudah mengandung pengawet alami. Jadi, bau mayat akan terserap oleh kain yang dibungkuskan pada jenazah.
Untuk pengawetan metode pertama, jelas Rambu Ana, dilakukan dengan cara menyiram kapur sirih di atas kain yang digunakan sebagai alas mayat atau pembungkus mayat. Setelah kain pertama yang ditabur kapur sirih dan tembakau, dilapisi lagi kain kedua. Kapur sirih dan tembakau ini yang akan menyerap bau, bahkan membuat jenazah kering. Setelah dibaringkan di atas lapisan yang ditabur kapur sirih, pusar jenazah ditutupi dengan cairan daun kom atau bidara yang sudah dikunyah.
Tidak sembarang orang bisa mengunyah daun kom yang akan ditaruh di pusar jenazah. Jika yang meninggal adalah lelaki tua, maka daun kom harus diambil dan dikunyah oleh perempuan muda. Cara mengambil daun kom juga menggunakan mulut seperti kambing. Daun kom itu dikunyah sampai halus dan diletakan di pusar jenazah. Demikian juga sebaliknya jika yang meninggal perempuan tua, maka yang mengambil dan mengunyah daun kom atau bidara adalah lelaki muda.
Bagaimana jika yang meninggal adalah lelaki muda atau perempuan muda? Rambu Ana mengatakan, yang mengambil dan mengunyah daun kom adalah lelaki atau perempuan tua. Daun kom ini, jelas Rambu Ana, mampu mengempiskan perut jenazah atau mayat. Rambu Ana mengatakan, secara logika memang tidak ada hubungannya. Namun, pengalaman telah membuktikan metode tersebut berhasil.
Cara itu selama ini sering digunakan untuk mengawetkan mayat. Jika ingin awet lebih lama, bisa juga ditambahkan dengan air garam dan cuka nira. Caranya, rebus cuka nira, campur dengan garam sebanyak-banyaknya setelah itu diminumkan ke mayat dengan cara mengangkat kepala jenazah kemudian menuangkan air cuka campur garam ke dalam mulut mayat, kepala jenazah dibaringkan lagi. Ini dilakukan berulang-ulang hingga satu gelas air cuka campur garam habis. Namun sebelum air garam cuka diminumkan ke jenazah, jenazah harus dalam keadaan bersih. Yang dimaksud bersih, katanya, seluruh kotoran yang ada dalam perut jenazah harus dikeluarkan semua. Cara ini ternyata mampu untuk mengawetkan jenazah.
Rambu Ana mengatakan, tidak semua orang menggunakan cara ini karena saat ini lebih mudah menggunakan formalin yang mudah didapatkan di apotek. Beberapa tokoh masyarakat Sumba, di nya, Umbu Mbani Awang, mengatakan, selain dengan kapur sirih dan tembakau, pengawetan mayat bisa dilakukan dengan tepung kopi. Caranya sama seperti kapur sirih dan tembakau.

Referensihttp://bali-nusa-tenggara.infogue.com/mengawetkan_mayat_di_sumba